SOSIOLOGI “Interaksi Sosial Dalam Kehidupan Sehari-hari”
A. Latar Belakang
Masyarakat dapat dipandang terdiri dari seperangkat posisi-posisi sosial. Posisi sosial ini dinamakan status. Farley [1992] mengungkapkan, ada berbagai macam status berdasarkan cara memperolehnya. Pertama, status yang diperoleh begitu saja tanpa suatu usaha tertentu dari orang bersangkutan (ascribed status). Misalnya, status yang diterima begitu saja ketika orang terlahir sebagai laki-laki atau perempuan (jenis kelamin), berkulit putih atau berkulit hitam (ras), dan karakteristik keluarga tempatorang itu dilahirkan. Kedua, status yang diperoleh setidaknya sebagian melalui upaya tertentu atau perjuangan dari orang bersangkutan (achieved status). Seperti: jabatan di kantor, tingkat pendidikan, dan tingkat penghasilan. Status mahasiswa tentu termasuk kategori kedua ini.
B. Status Set
Di dalam menjelaskan kedudukan individu dalam masyarakat dapat digunakan sebuah konsep status dan peran. Adapun definisi yang dibuat oleh sosiolog Ralp Linton mengenai kedua konsep tersebut ialah sebagai berikut. Status ialah “a collection of right and duties” (suatu kumpulan hak dan kewajiban), sedangkan peran ialah “the dynamic aspect of status” (aspek dinamis dari suatu status). Definisi sederhana yang dibuat oleh Linton ini memberikan deskripsi mengenai posisi dan kedudukan dari status-peran.
Status/kedudukan itu sendiri adalah suatu peringkat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok, atau posisi suatu kelompok dalam hubungannya dengan kelompok lainnya. Setiaporang mungkin memiliki sejumlah status dan diharapkan mengisi peran yang sesuai dengan status itu. Dalam arti tertentu, status dan peran adalah dua aspek dari gejala yang sama. Status adalah seperangkat hak dan kewajiban, sedangkan peran adalah pemeranan dari perangkat kewajiban dan hak-hak tersebut
Master Status
Ada berbagai faktor yang menentukan suatu kedudukan sosial atau status. Antara lain: kelahiran, unsur biologis, harta kekayaan, pekerjaan, agama. Kedudukan sosial seseorang dalam masyarakat tidak ditentukan oleh satu faktor saja. Bisa terjadi, beberapa faktor sekaligus menentukan kedudukan sosial seseorang atau suatu golongan, sehingga sulit menentukan faktor manayang mempunyai pengaruh dominan terhadap kedudukan sosial. Selain itu ada pula status yang ditempatkan di atas status-status lain, dilihat dari segi pengaruhnya terhadap kehidupan orang tersebut. Status semacam itu dinamakan master status. Misalnya, untuk orang dewasa, kemungkinan master status-nya adalah pekerjaan (occupation), atau bisa jadi posisinya dalam keluarga sebagai ayah, suami, atau istri.
Karena pada saat yang sama seseorang memegang berbagai status yang berbeda, dan status-status ini boleh jadi tidak memiliki peringkat yang sama, dapat terjadi ketidakkonsistenan status. Kondisi ini disebut juga ketidaksesuaian status (status discrepancy) atau keganjilan status (status incongruity). Inkonsistensi status tampak, misalnya, bilamana seseorang secara umum tidak diakui menyandang suatu status padahal status itu dirasakannya pantas, seperti orang kaya baru yang dicemoohkan oleh orang yang berdarah ningrat. Contoh lain, seorang pria menjadi sekretaris dari eksekutif wanita, atau orang berpendidikan tinggi yang terpaksa harus menerima pekerjaan berkualifikasi rendah.
C. Role Set
Makna peran, menurut Suhardono, dapat dijelaskan melalui beberapa cara, yaitu pertama penjelasan historis. Menurut penjelasan historis, konsep peran semula dipinjam dari kalangan yang memiliki hubungan erat dengan drama atau teater yang hidup subur pada zaman Yunani Kuno atau Romawi. Dalam hal ini, peran berarti katakter yang disandang atau dibawakan oleh seorang aktor dalam sebuah pentas dengan lakon tertentu. Kedua, pengertian peran menurut ilmu sosial. Peran dalam ilmu sosial berarti suatu fungsiyang dibawakan seseorang ketika menduduki suatu posisi dalam struktur sosial tertentu. Dengan menduduki jabatan tertentu, seseorang dapat memainkan fungsinya karena posisiyang didudukinya tersebut.Pengertian peran dalam kelompok pertama di atas merupakan pengertian yang dikembangkan oleh paham strukturalis di mana lebih berkaitan antara peran-peran sebagai unit kultural yang mengacu kepada hak dan kewajiban yang secara normatif telah dicanangkan oleh sistem budaya. Sedangkan pengertian peran dalam kelompok dua adalah paham interaksionis, karena lebih memperlihatkan konotasi aktif dinamisdari fenomena peran.
Seseorang dikatakan menjalankan peran manakala ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan bagian tidak terpisah dari status yang disandangnya. Setiap status sosial terkait dengan satu atau lebih peran sosial. Menurut Horton dan Hunt [1993], peran (role) adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang memiliki suatu status. Berbagai peran yang tergabung dan terkait pada satu status ini oleh Merton [1968] dinamakan perangkat peran (role set). Dalam kerangka besar, organisasi masyarakat, atau yang disebut sebagai struktur sosial, ditentukan oleh hakekat (nature) dari peran-peran ini, hubungan antara peran-peran tersebut, serta distribusi sumberdaya yang langka di antara orang-orang yang memainkannya. Masyarakat yang berbeda merumuskan, mengorganisasikan, dan memberi imbalan (reward) terhadap aktivitas-aktivitas mereka dengan cara yang berbeda, sehingga setiap masyarakat memiliki struktur sosial yang berbeda pula. Bila yang diartikan dengan peran adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang dalam suatu status tertentu, maka perilaku peran adalah perilaku yang sesungguhnya dari orang yang melakukan peran tersebut. Perilaku peran mungkin berbeda dari perilaku yang diharapkan karena beberapa alasan. Sedangkan, Abu Ahmadi [1982] mendefinisikan peran sebagai suatu kompleks pengharapan manusia terhadap caranya individu harus bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu berdasarkanstatus dan fungsi sosialnya.
Meninjau kembali penjelasan tentang peran secara historis, Bilton, et al. [1981] menyatakan, peran sosial mirip dengan peran yang dimainkan seorang actor, maksudnya orang yang memiliki posisi-posisi atau status-status tertentu dalam masyarakat diharapkan untuk berperilaku dalam cara-cara tertentu yang bisa diprediksikan, seolah-olah sejumlah “naskah” (scripts) sudah disiapkan untuk mereka. Namun harapan-harapan yang terkait dengan peran-peran ini tidak hanya bersifat satu-arah. Seseorang tidak hanya diharapkan memainkan suatu peran dengan cara-cara khas tertentu, namun orang itu sendiri juga mengharapkan orang lain untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap dirinya. Seorang dokter dapat menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat sangat pribadi kepada pasien dan mengharapkan pasiennya menjawab dengan jujur. Sebaliknya si pasien mengharapkan dokter untuk merahasiakan dan tidak menyebarkan informasiyang bersifat pribadi ini ke pihak lain. Jadi peran sosial itu melibatkan situasi saling-mengharapkan (mutual-expectations).
Peran sosial karena itu bukanlah semata-mata cara orang berperilaku yang bisa diawasi, tetapi juga menyangkut cara berperilaku yang dipikirkan seharusnya dilakukan orang bersangkutan. Gagasan-gagasan tentang apa yang seharusnya dilakukan orang, tentang perilaku apa yang “pantas” atau “layak”, ini dinamakan norma.
Harapan-harapan terpenting yang melingkupi peran sosial bukanlah sekadar pernyataan-pernyataan tentang apa yang sebenarnya terjadi, tentang apa yang akan dilakukan seseorang, di luar kebiasaan, dan seterusnya, tapi norma-norma yang menggarisbawahi segala sesuatu, di mana seseorang yang memilikistatus diwajibkan untuk menjalankannya. Jadi, peran-peran itu secara normatif dirumuskan, sedangkan harapan-harapan itu adalah tentang pola perilaku ideal, terhadap mana perilaku yang sebenarnya hanyabisa mendekati.
Dalam kaitannya dengan peran yang harus dilakukan, tidak semuanya mampu untuk menjalankan peran yang melekat dalam dirinya. Oleh karena itu, tidak jarang terjadi kekurangberhasilan dalam menjalankan perannya. Dalam ilmu sosial, ketidakberhasilan ini terwujud dalam role conflict dan role strain.
Role Conflict
Setiap orang memainkan sejumlah peran yang berbeda, dan kadang-kadang peran-peran tersebut membawa harapan-harapan yang bertentangan. Menurut Hendropuspito [1989], konflik peran (role conflict) sering terjadi pada orang yang memegang sejumlah peran yang berbeda macamnya, kalau peran-peran itu mempunyai pola kelakuan yang saling berlawanan meski subjek atau sasaran yang dituju sama. Dengan kata lain, bentrokan peranan terjadi kalau untuk menaati suatu pola, seseorang harus melanggar pola lain. Setidaknya ada dua macam konflik peran. Yakni, konflik antara berbagai peran yang berbeda, dan konflik dalam satu peran tunggal. Pertama, satu atau lebih peran (apakah itu peran independen atau bagian-bagian dari seperangkat peran) mungkin menimbulkan kewajiban-kewajiban yang bertentangan bagi seseorang. Kedua, dalam peran tunggal mungkin ada konflik inheren.
Role Strain
Adanya harapan-harapan yang bertentangan dalam satu peran yang sama ini dinamakan role strain. Satu hal yang menyebabkan terjadinya role strain adalah karena peran apapun sering menuntut adanya interaksi dengan berbagai status lain yang berbeda. Sampai tingkatan tertentu, masing-masing interaksi ini merumuskan peran yang berbeda, karena membawa harapan-harapan yang berbeda pula. Maka, apa yang tampak sebagai satu peran tunggal mungkin dalam sejumlah aspek sebenarnya adalah beberapa peran. Misalnya, status sebagai karyawan bagian pemasaran (sales) eceran di sebuah perusahaan, dalam arti tertentu sebenarnya membawa beberapa peran: sebagai bawahan (terhadap atasan di perusahaan itu), sebagai sesama pekerja (terhadap karyawan-karyawan lain di perusahaan itu), dan sebagai penjual (terhadap konsumen dan masyarakat yang ditawari produk perusahaan tersebut).
Menurut Horton dan Hunt [1993], seseorang mungkin tidak memandang suatu peran dengan cara yang sama sebagaimana orang lain memandangnya. Sifat kepribadian seseorang mempengaruhi bagaimana orang itu merasakan peran tersebut. Tidak semua orang yang mengisi suatu peran merasa sama terikatnya kepada peran tersebut, karena hal ini dapat bertentangan dengan peran lainnya. Semua faktor ini terpadu sedemikian rupa, sehingga tidak ada dua individu yang memerankan satu peran tertentu dengan cara yang benar-benar sama.
Ada beberapa proses yang umum untuk memperkecil ketegangan peran dan melindungi diri dari rasa bersalah. Pertama, rasionalisasi, yakni suatu proses defensif untuk mendefinisikan kembali suatu situasi yang menyakitkan dengan istilah-istilah yang secara sosial dan pribadi dapat diterima. Rasionalisasi menutupi kenyataan konflik peran, yang mencegah kesadaran bahwa ada konflik. Misalnya, orang yang percaya bahwa “semua manusia sederajat” tapi tetap merasa tidak berdosa memiliki budak, dengan dalih bahwa budak bukanlah “manusia” tetapi “benda milik.”
Kedua, pengkotakan (compartmentalization), yakni memperkecil ketegangan peran dengan memagari peran seseorang dalam kotak-kotak kehidupan yang terpisah, sehingga seseorang hanya menanggapi seperangkat tuntutan peran pada satu waktu tertentu. Misalnya, seorang politisi yang di acara seminar bicara berapi-api tentang pembelaan kepentingan rakyat, tapi di kantornya sendiri ia terus melakukan korupsi dan merugikan kepentingan rakyat.
Ketiga, ajudikasi (adjudication), yakni prosedur yang resmi untuk mengalihkan penyelesaian konflik peran yang sulit kepada pihak ketiga, sehingga seseorang merasa bebas dari tanggung jawab dan dosa.
Terakhir, kadang-kadang orang membuat pemisahan secara sadar antara peranan dan “kedirian” (self), sehingga konflik antara peran dan kedirian dapat muncul sebagai satu bentuk dari konflik peran. Bila orang menampilkan peran yang tidak disukai, mereka kadang-kadang mengatakan bahwa mereka hanya menjalankan apa yang harus mereka perbuat. Sehingga secara tak langsung mereka mengatakan, karakter mereka yang sesungguhnya tidak dapat disamakan dengan tindakan-tindakan mereka itu.
Konflik-konflik nyata antara peran dan kedirian itu dapat dianalisis dengan konsep jarak peran (role distance) yang dikembangkan Erving Goffman. “Jarak peran” diartikan sebagai suatu kesan yang ditonjolkan oleh individu bahwa ia tidak terlibat sepenuhnya atau tidak menerima definisi situasi yang tercermin dalam penampilan perannya. Ia melakukan komunikasi-komunikasi yang tidak sesuai dengan sifat dari peranannya untuk menunjukkan bahwa ia lebih dari sekadar peran yang dimainkannya. Seperti, pelayan toko yang mengusulkan pembeli untuk pergi ke toko lain karena mungkin bisa mendapatkan harga yang lebih murah. Ini merupakan tindakan mengambil jarak dari peran yang mereka lakukan dalam suatu situasi. Penampilan “jarak peran” menunjukkan adanya perasaan kurang terikat terhadap peranan. Pada sisi lain, “penyatuan diri” dengan peranan secara total merupakan kebalikan dari “jarak peran.” Penyatuan diri terhadap peran tidak dilihat dari sikap seseorang terhadap perannya, tetapi dari tindakan nyata yang dilakukannya. Seorang individu menyatu dengan perannya bila ia menunjukkan semua kemampuan yang diperlukan dan secara penuh melibatkan diri dalam penampilan peran tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar